Sebuah Rahasia



Siang yang tidak begitu panas. Awan hitam menggantung di langit. Angin semilir berderu disela-sela rindangnya pepohonan. Menarikan rambut panjang Aluna dan Airi. Rama sibuk dengan kameranya. Sedangkan Biyan berdiri disamping Aluna.
   “Besok minggu ada festival di  Jalan Malioboro, kita dapat tugas dari redaksi majalah sekolah untuk meliput acara tersebut. Tapi gua nggak bisa ikut, Nyokap ngajak gua jengukin kakek. Gimana kalau yang pergi kalian bertiga?” Tanya Airi dengan masih terfokus pada laptopnya.
“Gua juga nggak bisa bantu, mau tanding basket,” sahut Biyan.
Biyan dan Aluna saling bertatapan. Mesra.
“Gimana ini, ?” Airi mematikan laptopnya dan meminta pendapat Rama dan Aluna yang belum berkomentar. Rama masih asyik dengan kamerannya, dia memfoto burung yang berterbangan dilangit yang menembus awan mendung. Aluna juga tak memberikan jawaban. Sesaat kemudian Rama mendekati Airi dan duduk disampingnnya.
“Gua sama Aluna aja yang pergi gimana?” tanya Rama serius.
“Kalau gua fine-fine aja, tapi apa Aluna nggak nemenin Biyan?” 
“Aluna nggak nemenin Biyan sekali ja nggak papa kan Biyan?” tanyanya kepada Biyan. Tapi belum ada tanggapan. “Hmmbtt, tapi kalau Biyan keberatan biar gua sendiri ja yang pergi,” lanjut Rama.
“Bukannya gua meragukan hasil kerja lu tapi lebih baik kalau tidak hanya satu orang yang pergi. Biar dapat tukar pikiran. Biyan boleh ya,” bujuk Airi.
“Ya dah kalau gitu, biar hasilya maksimal kan, nggak papa, gua percaya sama kalian,” Biyan memperbolehkan Aluna pergi dengan Rama.
Aluna mematikan laptopnya. “Tapi...” seperti berat rasanya tidak memberi dukungan kepada Biyan saat tanding. Biyan memastikan dirinya baik-baik saja dengan lipatan wajah keatas dan membelai rambut Aluna. “Ya dah gua yang pergi ma Rama, beneran nggak papa kan Bee?” tanya Aluna ke Biyan. Biyan mengangguk dan tersenyum memastikan memberi izin Aluna pergi bersama Rama.
Rama tersenyum. Entah apa yang ia pikirkan. Biyan yang dari tadi bergelut dengan kamera mencuri foto kekasihnya sedang mengemasi tasnya. Aluna tahu akan hal itu. Dia kemudian mengejar Biyan yang berlari untuk mendapatkan fotonya. Awan putih pun semakin tergusur dengan Si hitam. Rintisan hujan pun membasahi keringnya kemarau.
Seluruh jalan Malioboro dipenuhi dengan lautan manusia. Walaupun agak panas dan berdesak-desakan Aluna dan Rama tetap semangat untuk mengambil foto di setiap pawai. Hari semakin sore menambah menawannya  kota Jogja. Mereka menikmati setiap jengkal waktu kebersamaan mereka. Hingga kedua mata mereka bercerita dengan sendirinnya.
Hampir 3 jam mereka bergelut dengan waktu untuk mengabadikan setiap detik momen pertunjukan. Hari pun sudah gelap. Cacing-cacing diperut mereka sudah memberontak. Rama kemudian mengajak Aluna mencari tempat makan. Mereka memilih mencari makan di lesehan. Rintikan hujan turun seperti butiran salju. Rama tahu Aluna pasti kedinginan, karena hanya memakai kaos T-Shirt. Rama membuka Jaketnya dan  memakaikannya kepada Aluna.
“Nggak usah Rama.” Aluna menolak jaketnya Rama.
“Pakai aja, gua nggak mau lu sakit,” kata Rama perhatian.
“Gua juga nggak mau lu sakit. Mendingan kita nggak usah pakai ja biar impas, gimana?”
“Ayolah pakai, Gua benar-benar takut lu sakit.” Rama memakaikan jaket lagi. Aluna hanya pasrah dengan sikap Rama. Sesaat kemudian makanan mereka datang.
“Lun, habis ini mau kemana?” tanya Rama.
“Mau pulanglah,” Aluna mengembangkan senyumnya.
“Gua mau ngajak lu jalan. Lu mau nggak?” Rama penuh serius.
“Mau kemana emangnya?”
“Lu mau kan! Ntar lihat aja ya,” jawabnya agak nakal.
Setelah makan hujan sudah mulai reda. Rama kemudian mengajak Aluna menyusuri jalanan yang ramai tapi lancar. Lampu kota memberikan nuansa yang berbeda. Remang  dan menggelitik.
Sisa-sisa hujan membiaskan lampu kota menjadi pecahan cahaya yang tak beraturan. Memberikan kesan artistik yang lain. Nuansannya menjadi sangat romantis. Biasanya kalau tidak hujan pasti banyak orang yang datang ketempat itu. Sekedar untuk nongkrong atau berkumpul sama teman atau keluarga. Siang dan malam selalu ramai. Aluna dan Rama berjalan dari arah utara keselatan. Kemudian mereka duduk disalah satu bangku. Rama menyenderkan kepalanya di pundak Aluna. Aluna awalnya kaget. Namun Rama seperti kecapekan, sehingga dia tidak bisa melepaskannya.
Beberapa menit berlalu tanpa ada pembicaraan. Aluna masih menikmati coffee-nya. Perlahan Rama menjauhkan kepalanya dari bahu Aluna. Tatapannya tak bisa ia palingkan dari wajah cantik itu. setelah ditunggu sekian lama akhirnya waktu untuk bersama pun terwujud walau hanya dirinya sendiri yang tahu. Rama pun tak mau membuang waktu kebersamaan mereka. Hal itu membuat salah tingkah Aluna.
“Ada yang salah ma gua ya?” tanya Aluna lembut. Rama masih saja menatap Aluna. Seperti tak menghiraukan pertanyaan itu.
“Nggak da yang salah ma lu. Salah lu cuma satu kenapa lu selalu ada dalam pikiranku?” sebuah pernyataan dan pertanyaan yang  dilontarkan secara tenang membuat Aluna agak terkaget.
“Lucu tau,” jawab Aluna sambil tersenyum.  Rama pun ikut tersenyum. Memecahkan kesunyian yang sempat terjadi diantara mereka.
“Tapi gua berharap lu nggak  sekedar sahabat untuk ku. Gua ingin lebih dari itu. Kau menarik. Lu unik.” Rama menciptakan keheningan yang sempat terpecahkan. Membuat wajah gadis disampingnya merah marun.
“Jangan memuji ku kayak gitu,” Aluna mengalihkan pembicaraan dengan ia membuka foto yang tadi diabadikan. Tak jenuhnya mengamati satu persatu foto-foto itu.
“Memang gua suka lu. Jadikan gua yang kedua,” tanpa ekspresi. Menunggu kata lain terucap. Diam.
“Gila lu Ram. Sudah cukup bercandanya. Gua mau pulang!” Aluna kemudian memberesi semua kameranya. Rama masih termenung hanya bisa melihat Aluna dengan tatapan kosong. Ia tak membiarkan tangan aluna pergi.
“Jawab jujur. Lu sayang gua kan? Jadikan gua yang kedua. Gua Cuma mau itu. Jangan munafikan hati lu. Sudah lama gua nunggu lu  tapi lu tak juga mengerti. Gua yakin lu punya rasa yang sama denganku. Jujurlah gua mohon,” mata Rama berkaca-kaca. Rama berusaha meyakinkan hati Aluna.
“Lupakan rasa itu. Lu sudah punya Airi. Gua pun demikian. Buang cinta lu,”  tegas Aluna.
Rama tak mengerti. Didepan matanya saat ini adalah gadis yang Ia sukai sejak dulu. kini mematahkan hatinya. Namun Rama yakin Aluna memiliki rasa yang yang sama. Tanpa direncana Ia memeluknya. Air matanya menetes perlahan.
“Tak bisakah kau pikir tentang kita. Tak bisakah kau pahami hati ku. Gua yang lebih mengenal mu. Gua yang lebih mencintamu. Demi lu gua terima Airi. Tapi kau tak juga merasa. Gua tahu kau punya rasa yang sama.  Pikirkan kita tolong. Bukan mereka. Gua mohon.”  Rama melepas pelukannya.
Aluna tak bisa menatap mata Rama. Hatinya galau. Semua yang dikatakan Rama benar adanya. Tak satu pun Ia ingkari dalam hatinya. Harus apa yang ia lguakan. Harus kah mengkhianati persahabatan dan kesetiaannya.
“Kita harus mengkhianati mereka? Gua nggak mau.”
“Iya untuk saat ini. Gua mau minta putus dari Airi,” Rama meyakinkan lagi. Itu menambah sedih Aluna. Airi sangat mencintai Rama. Aluna tahu persis akan hal itu. Sudah terlanjur salah mengambil keputusan. Mata Rama tak juga kering.
“Ok, jangan  lukai Airi. Dia sangat mencintai lu. Gua turuti mau lu.” Suatu keputusan yang sangat berat untuk diambil.
“Terimakasih. Gua tak meminta lu lebih. Tetaplah disisiku.” Matanya mulai berbinar. Keceriaan nampak diwajah mereka. Udara dingin menjadi hangat karena cinta mereka. Cinta yang lama tak terungkap. Walau harus melukai orang. Cinta memang buta dan nggak tahu diri. Namun cinta nyata adanya.
***
Sepulang sekolah  Aluna tak langsung pulang. Ia harus mengerjakan tugas mengedit foto. Airi tak bisa menemaninya karena ada urusan keluarga. Rama menemaninya. Tak hentinya Rama memandang wajah Aluna. Membuat Aluna grogi.
“Gua senang kita bisa berdua seperti ini,” Rama terus menatapnya.
“Iya, sama. Cepat selesain ntar Biyan keburu kesini. Kasihan nunggu,” pinta Aluna.
“Kenapa Biyan. Okey gua selesain,” kata Rama cemburu.
“Iya maaf, jangan marah,” rajuk Aluna. Mereka kemudian menyelesaikan mengedit foto.
Setelah itu Rama menunjukan foto-foto yang sudah lama Ia simpan dari dulu. Akhirnya bisa Ia tunjukan juga. Foto dari sejak SMP sampai saat ini masih Ia simpan. Aluna menjadi terharu. Ia tak percaya Rama melguakan itu semua. Ia malah nggak tahu Rama banyak mencuri Foto-fotonya. Saat Aluna bahagia, marah, serius, sedih. Semua lengkap. Aluna ingin meminta foto itu tapi nggak boleh sama Rama. Kalau mereka benar-benar sudah menjadi sepasang kekasih seperti orang lainnya Rama baru mau ngasih foto itu. Sesaat kemudian Biyan datang. Dengan segera Rama menutup foto itu dalam mini laptopnya.
“Udah selesai.” tanya Biyan.
“Iya sudah, gua duluan Ram,” kata Aluna sambil memberesi barang-barangnya.
“Oh iya. Hati-hati.”
“Gua duluan.” Biyan dan Aluna meninggalkan Rama sendiri. Ia memandangi kebersamaan mereka membuat hatinya pilu. Apa boleh buat Ini konsekuensi untuknya. Memiliki tapi tak bisa selalu bersama.
    3 bulan kemudian
   Rama sudah tak bisa mencintai Airi dengan utuh  hatinya seluruhnya sudah untuk Aluna. Semua pikirannya hanya tertuju pada kekasih keduannya. Airi selalu curhat kepada Aluna tentang perubahan sikap Rama. Ketika bercerita lelehan air mata mengucur deras, membuktikan betapa Airi begitu mencintai  Rama. Rasa bersalah langsung menghinggapi hati Aluna. Ia mencoba bertahan dalam keadaan yang serba sulit. Keputusannya untuk menjauhi Rama sudah bulat. Hubungan mereka memang sudah salah dari awalnya.
   Aluna memeluk erat Airi. Pelupuk matanya juga ingin menitikan kristal-kristal putih. Rintikan itu jatuh juga. Rasa bersalah selalu menghantuinya. Agar Airi tidak tahu Ia segera menyekanya. Betapa egoisnya dirinya. Melukai hati sahabatnya sendiri, yang tak pernah melukainya.           
Aluna perlahan menjauhi Rama. Tetap saja Rama mencoba untuk mendekati. Aluna tak menghiraukannya. Ia lebih sering dengan Biyan. Sedangkan saat ini Airi pengin sendiri. Rama mencium hal yang janggal dari sikap Aluna.
   Hari ini pulang pagi guru-guru ada rapat. Aluna ingin menepikan dirinya. Tadi Airi mengajak Aluna main kerumahnyan namun ia menolaknya pelan. Aluna belum bisa untuk menatap wajah sendu Airi karena akan membuatnya larut dalam rasa bersalah.
   Biyan juga masih berada disekolahnya. Ia putuskan untuk jalan-jalan sendiri. Dengan kameranya. Mencari momen-momen yang bagus.
   Sejenak Ia terhenti di bangku  taman kota. Dengan melihat lagi hasil bidikannya. Tersenyum sendiri. Membuat hatinya bahagia untuk sesaat gambar-gambar yang diperolehnya. Kumpulan awan hitam sudah berkumpul membentuk gumpalan-gumpalan hitam besar. Aluna memasukan kamera digitalnnya ke dalam tasnya. Ia juga enggan untuk pergi. Semilir angin berhembus menerpa pipinya.  Terasa menyejukan. Pikiranya kosong.
   “Ngapain lu disini sendirian. Ayo pulang ini sudah mau turun hujan lho,” ajak Rama.
   Aluna menatapnya enggan settelah mendengar suara Rama.
   “Kenapa lu? Ayo.” Rama menarik pergelangan tangannya pelan.
   “Rama lepasin tolong,” katanya pelan. Rama menatap tajam.  Ia melepasnya. Tak ingin memperkeruh suasana.
   Sesaat mereka terdiam. Rama menatap Aluna tak beraturan. Ia ingin sekali memeluk gadis disampingnya itu. Tapi ia urungkan. Aluna membuka suara. Namun kata itu sangat menusuk-nusuk hatinya. Merobek-robek sampai hancur. Kata itu “Putus!!!”
   Seketika hati Rama membeku. Beranjak dari tempat duduknya. “Putus? Kenapa putus?” dengan suara terputus-putus. Rintikan hujan mulai turun. Membasahi tanah yang gersang. Rama menendang bak sampah disampingnya sambil berteriak.
   “Gua tahu ini berat Ram, ini lebih baik untuk kita. Lu punya Airi. Gua punya Biyan. Semuanya sudah cukup. Kita hentikan saja,” suaranya bergetar.  Tak berani menatap Rama.
   “Oke, kalau itu mau lu. Jangan salahkan gua. Bila gua mutusin Airi,” ancamnya. Rama langsung pergi meninggalkan Aluna tanpa menoleh. Aluna menangis tersedu.
“Kenapa menjadi seperti ini,” tangisnya.
   Ternyata Biyan melihat adegan itu. Ia hanya mematung, tak ingin mencampuri masalah Aluna dengan Rama. Walaupun itu juga menyangkut dirinya. Ingin sekali Ia memukul Rama. Niat itu ia urungkan dan memilih untuk mengamati dari jarak 10 meter. Setelah Rama pergi pelan-pelan  Biyan mendekat.
   Aluna merasakan keteduhan. Ketika Biyan sudah berdiri disampingnya dengan payung. “Biyan, maafin gua.” Aluna langsung memeluk Biyan. Seketika payung yang berada digenggaman tangan Biyan lepas.
Biyan menyambut pelukan Aluna. Aluna menangis dipelukannya.
   “Iya gua maafin.”
Sebenarnya Biyan sudah tahu tentang hubungan terlarang Aluna dan Rama. Rasa sayangnya begitu besar hingga ia tak mampu untuk membuat kekasihnya bersedih. Betapa dia menyayangi pujaan hatinya. Baginya walaupun Aluna mendua, asalkan tetap bersamanya ia rela untuk tak selalu menjadi nomor satu.
Hujan sudah mulai reda. Namun tidak untuk rasa bersalahnya dengan Biyan. Sekarang tinggal Airi. Aluna meminta Biyan untuk tidak bilang ke Airi. Karena itu hanya akan menyakiti sahabatnya. Aluna juga sudah tak merasa pantas untuk menjadi sahabat Airi lagi. Sudah terlalu dalam ia mengkhianati persahabatan mereka.
Awan hitam bersilih ganti dengan awan putih. Terbentang pelangi yang sangat indah. Membuat lingkaran warna yang menyejukan mata. Hari berganti dengan sebab yang tak pasti.
Sebuah bingkisan tedampar didepan rumah Aluna. Perlahan ia membukannya. Sebuah album foto dirinya dan sebuah surat.



           Yang kau minta aku berikan
          Walaupun tak selamanya
          Aku bahagia pernah memiliki mu
          Walau dalam sebuah rahasia
          Sebuah rahasia yang indah
          Takkan pernah terlupakan
          Dan akan menjadi kisah terbaikku
          Terimakasih Aluna
          Your my inspiration
                                                              From
                                                              Rama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

#Ibujuara Penantian buah hati

Hitam Nan Terang

Aku si Cebol