Study Tour Cinta Ku
Tak pernah ku sangka aku berada di titik ini. Dititik dimana aku harus mengerti.
Seharusnya perjalanan ini membuat ku bahagia. Sayangnya tak ku dapatkan itu.
Malah pengkhiantan
dan luka. Melenyapkan asa ku yang membumbung terlalu jauh. Membuat ku tak bisa
bernafas dengan tenang. Kesakitan ku tak pernah ku ketahui pangkal dan ujungnya.
Semua terasa padam. Kobaran sang surya memberi kehangatan, membakar hati ku.
Tak kuasa tetesan air mata itu melumeri seluruh wajahku. Tuhan salah ku apa? Ingin
ku menjerit. Ingin ku berteriak sekeras-kerasnya. Urung jua ku lakukan.
Perlahan lahan ku tata emosi ku yang meledak-ledak.
Semua sudah cukup jelas. Malahan lebih dari sangat jelas. Mengangakan luka
itu dan meracuninya. Serasa tak bisa lagi untuk bertahan dalam kepungan
kesedihan. Terjerembab ku terlalu jauh. Ingin ku mengatakan kepada mereka berdua. Apa salah ku? Itu
yang selalu berada dalam pikiran ku.
“Ngapain kamu disini, kayak orang hilang!”
Kata dari seorang mereka yang mempunyai
rambut gimbal. Belum sempat aku menjawab, yang berambut bercat ala harajuku
mengomentari lagi.
“Jangan-jangan kamu mau mematai-matai kami
kan?” Tanyanya penuh curiga.
“Enggak kok, ngapain juga mematai-matai
kalian. Kurang kerjaan aja,” jawab ku ketus.
“Trus kamu ngapain disini?” Tanya orang
berambut gimbal lagi.
“Aku tadi disini bersama teman yang lainnya
tapi aku tertinggal. Mereka aku sms ngak nyambung. Baterai ku malah habis.”
“Zaman gini masih sms. bbm dong,” Kata yang
rambutnya paling normal.
“Cowok ini sombong banget, kalo ini bukan
sekolahnya pasti dah aku maki-maki dia,” Gumam ku dalam hati.
“Malah bengong,”. Katanya lagi.
“Terserah kalian ja. Aku mau cari mereka,” Aku
bergegas meninggalkan mereka.
“Emang kamu mau cari dimana? sekolah kita
besar tahu. Nggak Cuma sebesar lapangan bola.” kata rambut pirang.
“Benar juga kata rambut pirang, sekolahnya besar
banget,” Pikir ku.
“Trus aku harus kemana? tanya ku.
“Ikut kita ja,” kata rambut normal. Mereka
berjalan menjauhi ku.
Ketika aku akan mengikuti mereka aku melihat
Angga dan Lisa jalan berdua. Aku memanggil mereka namun mereka tak mendengarnya. Mereka malah
terlihat dengan mesranya berdua. Pikiran ku mulai menyelidik tak terarah. Tubuh
ku menjadi panas dingin. Serasa ingin terlulai. Aku berusaha meyakinkan hati ku
kalau mereka pasti sedang mencari ku. Tapi mengapa mereka tidak mencarinnya
sampai sini. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang lagi kasmaran. Air
mata terasa ingin menetes. Namun ku mencoba kuat.
“Udah nggak usah dilihat.” Tiba-tiba ada yang
memeluk ku dengan perhatian. Aku masih terbenam dengan rasa sakit ku. Beban ku
terasa hilang saat dia memelukku. Aku mencoba percaya mereka tak ada hubungan
apa-apa. Mereka nggak mungkin khianati ku. Dia membelai rambut ku dengan
hangat. Kemudian aku tersadar.
“Kamu!”Aku melepas pelukannya. Aku kaget dia
peluk aku. Baru kenal ja dah nglakuin hal aneh-aneh. Kemudian aku pukul dia.
Dia kesakitan.
“Udah ditolongin malah mukul. Mau kamu apa
sih. Emang kamu ngak berubah dari dulu.”
“Dari dulu?” Selidik ku.
“Udah lah, kamu mau disini terus atau mau
ikut aku?” Tanyanya agak sewot.
Berambut normal ini kepribadiannya memang
lucu. Sombong tapi juga perhatian. Cuek tapi peduli, memang sulit untuk
diperkirakan. Anehnya mengapa aku merasa dia sangat dekat dengan diriku.
Seperti sudah kenal lama. Padahal kita baru saja bertemu. Kenalan aja belum.
Kita pun sampai di markas mereka. Semuanya
terlihat mewah, mereka mungkin bukan orang anak biasa. Seperti hotel berbintang
tujuh. Kalau dibilang sekolahan ini bukan sekolah tapi untuk liburan.
“Kenapa kamu ajak dia kesini?” Tanya si rambut
pirang.
“Nggak tahu tuh ikutin gua aja. Masuk sini.” Ajaknya
Sambil memegangi pipinya yang aku tampar tadi. Kemudian mereka mengajak ku
pergi ke balkon. Sang gelap pun menggantikan sang terang. Dari balkon itu dapat
terlihat matahari terbenam, sangat indah dan menawan. Si rambut normal
mengambilkan aku minuman.
“Oh ya kita belum sempat kenalan. Nama kamu
siapa? Kamu pasti sudah tahu nama kita kan!” tanya rambut gimbal dengan percaya
dirinya.
“Nama ku Silfia. Maaf tapi aku ngak tahu
kalian,” jawab ku. Mereka terperangah karena aku nggak mengenali mereka.
“Kamu nggak kenal siapa kita? Ya dah kenalin
gua Viko”. Si rambut merah itu mengulurkan tangannya. Kemudian diikuti si
rambut gimbal. “Gua Nino, senang kenal ma kamu,” Yang terakhir si rambut
normal. “Gua Yoga,” Katanya cuek.
Langit biru terbias mega. Kuning emas
memantul dengan sempurna. Begitu elok dan mempesona. Tapi itu tak seindah hati
ku yang sedang dilanda lara. Walaupun belum
tahu benarnya juga. Hati ini terasa menyedihkan. Tawa mereka membuat ku
bertahan untuk tidak meneteskan air mata.
“Katanya kalian mau mengantar aku?” tanya ku
“Siapa yang mau mengantar mu. Kamu kan yang
ikut kita,” Kata Yoga masih saja dengan judesnya.
“Iya nanti diantar, asramanya Cuma belakang
gedung ini kok,” Sahut Nino.
Apa Cuma belakang gedung ini. Mereka telah
mengerjai ku. Menyebalkan sekali.
“Ya dah aku mau kesana dulu, makasih dah mau
ngasih aku tumpangan walau hanya sebentar,” aku akan bergegas meninggalkan
markas mereka. Sebelum aku pergi Viko minta nomer ku. Viko memaksa ku untuk
memberikan nomer hp ku. Kemudian aku memberinya walau itu nomer bohongan. Dia
mau miscall juga hpnya mati. Salahnya siapa dia memaksa ku. Setelah itu aku
keluar.
“Aku anterin kamu,” tiba-tiba Yoga
membelakangi ku. Aku tak menyangka cowok secuek itu perhatian juga.
“Kenapa kamu mau ngannteriin aku?” tanya ku
lugu.
“Jangan GR dulu, ku ngak tega ja liat cewek
malam-malam gini jalan sendiri. Aku ngak mau buat keslahan lagi,” Gaya
bicaranya tenang banget. Dijamin kalo dia bohong orang ngak bakal tahu juga.
Tak sengaja ku memandangi wajahnya yang ternyata memang cute, manis dan
mempesona. Hingga ku tak menyadari ada pohon didepan ku dan aku menabraknya.
“Bbbllkkhklkhkkh,” Aku malu banget. Yoga
hanya melihat dan menertawai ku. Entah mengapa aku ngak marah ketika yoga
menertawai ku. Seperti melihat sesuatu yang dulu pernah ada dalam hidup ku tapi
aku lupa akan hal itu.
“Sakit?” tanyanya penuh perhatian. Dia
mengelus kening ku. “itu balasannya kamu tadi pukul aku,” terusnya.
Aku tak tahu
pada diri ku sendiri mengapa hati ku begitu luluh denganya. Kenapa juga aku tak
marah ketika dia menertawai ku. Malahan itu seperti mendapat perhatian. Membuat
ku bingung aja. Saat didekatnya rasa sakit dan kecewa ku terasa lenyap. Tak
berani memunculkan wajahnya lagi. Ini benar hal yang ajaib tapi nyata.
“Apa?” Aku kaget.
Dia Cuma terseyum
lagi sambil bejalan. Kemudian dia membahas masalah Angga. Aku ceritakan apa
yang ku rasa. Dia malah menyarankan aku untuk putus dari Angga. Angga bukan
cowok terbaik untuk ku melainkan dirinya yang terbaik untuk ku. Tak terasa
sudah sampai didepan asrama.
“Kenapa kamu yang terbaik untuk ku. Padahal
kita juga baru kenal, belum lebih dari 24 jam. Jelaskan pada ku,” Yoga hanya
diam, kemudian dia duduk di tangga depan.
“Berapa nomer kamu? aku tahu tadi kamu
bohong,” Dia mengalihkan pembicaraan.
“Apa peduli kamu, aku sangat bingung dengan
sikap kamu ke aku. Udah akku mau masuk dulu,” Aku berjalan meninggalkannya.
Kemudian dia menahan tangan ku.
“Berapa nomer kamu? akan ku lepas bila kamu
ngasih aku nomer kamu,” Dia menatap ku tajam. Aku pun memberikan nomer asli ku.
Dia tiddak begitu saja percaya. Kemudian dia mengambil hpnya dari saku. Dia
lalu memasukkan kartu ku. Setelah itu dia baru percaya.
“Kenapa apa kamu sampai segini nglakuin ke
aku?” Aku sudah tak tahu lagi harus berbuat ke Yoga.
“Ada hal yang ngak kau mengerti. Tunggu
jawabannya esok pagi. Ditempat yang sama kita bertemu tadi. Bila kamu ingin
tahu jawabannya.” Kemudian dia meninggalkan ku sendiri. Seenaknya saja pergi.
Ku masih terpaku melihat langkahnya menjauhi ku. Dia membalikkan badannya hingga malam membenamkannya.
Aku lihat anak asrama pada panik. Mereka
senang melihat ku kembali. Ku lihat Angga dan Lisa juga disana.
“Kamu nggak papa kan Sifia?” tanya Lisa. Aku
mengangguk. Lisa lalu memelukku.
“Sayang kamu baik-baik ja kan?” ucap Angga
peduli. Kemana ja mereka tak mencari ku. Aku panggil ja nggak berkutik. Biarkan
kejadian itu yang tahu aku sendiri. Luka ku itu semoga kebahagiaan untuk
mereka. Itu doa ku untuk mereka.
“Iya aku baik-baik aja. Aku tadi main di
taman. Saking asyiknya hingga aku lupa waktu” Aku meyakinkan mereka walau tidak
semua itu benar. Tawa mereka adalah nafas ku.
“Aku kemudian masuk ke kamar. Kami tidur
berenam dalam asrama sekolah itu. Semakin ku pejamkan mata semakin ku ingat
Yoga. Bayangannya selalu muncul dalam ingatanku. Aku bingung kenapa bisa
seperti ini. Ku lihat semua sudah tidur. Aku memutuskan keluar kamar ntuk
mencari angin. Ku lihat Angga lagi sendiri duduk di dekat tangga. Aku
menhampirinya.
“Kamu belum tidur?” tanyaku.
“Belum, kamu juga kan? Aku tahu kamu tadi
diantar seorang cowok kan?” jawabnya dingin. Sedingin udara malam ini. Bintang
pun bersinar terang, tapi sayang sianar itu tak sampai ke hati ku.
“Iya”.
“Dia selingkuhan kamu?” dia menuduh ku sesuka
hatinya. Aku mencoba meredam amarah ku.
“Bukan, aku baru kenal tadi,” Angga seperti
tak percaya. Dia terus memojoki ku dengan kata-katanya yang agak meninggi.
Andai ku aku punya sifat kayak dia bisa ngomong dengan liar tanpa dipiir dulu.
Pasti aku akan ungkapkan apa yang aku rasa dan aku lihat tadi. Aku Cuma ngak
mau persahabatan ku dengan Lisa menjadi renggang gara-gara masalah cowok. Dada
ku serasa sesak. Ingin ku katakakan apa yang
ku rasa, namun hal itu urung ku lakukan. Angga mencercal ku dengan
pertanyaan-pertanyaan yang konyol. Diriku semakin tersiksa. Butiran-butiran
permata sudah memenuhi kelopak mata ku.
“Kenapa mata kamu memerah, aku salah bicara?”
Tanyanya tak acuh.
“Aku ngak papa, kamu nggak salah. Toh aku
jelasin ke kamu, kamunya juga ngak mau percaya aku. Untuk apa aku menjelasin
kekamu” Aku ingin meninggalkannya, namun dia menahan ku.
“Mau kamu sekarang apa?” Aku sudah tak bisa
menahan emosi ku lagi. Terlalu sering dia membuat luka.
“Kamu sekarang menjadi kasar. Apa gara-gara
cowok itu?” Angga kaget aku menjadi seperti ini.
“Ini ngak ada urusannya dengan siapa pun. Ini
masalah kita. Jawab jujur. Aku butuh kejujuran dari kamu. Tadi sore kamu dimana
bersama Lisa?” Dia tercengang aku bertannya begitu. Dia mencoba mengelak.
Meyakinkan aku. Setelah kejadian tadi hatiku jadi mati untuknya. Kini tinggal
puing-puing masa lalu yang membayangi.
Waktu 3 tahun bukan waktu yang singkat untuk merajut benang cinta. Terkadang
ada dimana saat kita harus mengganti benang kita bila sudah usang. Walaupun
untuk merajutnya kembali tidak semudah orang membayangkan. Walaupun harus
berakhir mungkin ini jalan yanng terbaik.
“Aku tak akan memaksa kau memilih aku atau
Lisa. Aku pengin mengakhiri semua ini. Sama saat kita dulu bersama juga dalam
keadaan menyenangkan. Aku juga menginginkan demikian. Aku merelakan kau bahagia
dengan Lisa. Semoga kalian langgeng.”
Ucap ku. Dia tak percaya aku mengatakan hal itu. Dia tak terima.
“Bila itu ingin mu, aku bisa berbuat apa
lagi. Maafin aku,” suaranya parau.
Kemudian aku
meninggalkannya. Menuju kamar. Jam menunjukkan pukul setengah empat pagi. Aku
tak menyangka udah jam segini. Anak-anak yang lain juga sudah pada bangun. Kita
berangkat ke jogja jam 5 pagi. Aku membereskan perlengkapan ku. Akku baru
tersadar saat bis akan melaju. Yoga menunggu ku. Aku kemudian turun dari bis.
Menemui Yoga. Aku berlari sekencang-kencangnya untuk menemui Yoga.
Burung berterbangan seakan melingkari orange yang manis. Hampir 3 jam Yoga
menunggu kedatangan dengan harap-harap cemas. Digenggamnya kalung liontin itu.
Sebuah penyesalan yang hingga kini merajai hatinya. Dia berjanji kepada hatinya
sendiri untuk tidak menyakiti hatinnya lagi. Kesalahan masa kecilnnya. Yang
membuatnya tak bisa hidup tenang walaupun dikelilingi dara-dara cantik. Dari
tadi mondar-mandir menunggu kehadiran Silvia. Membuat Viko dan Nino yang dari
tadi melihat menjadi panik. Namun Viko dan Nino ngak berani untuk mendekatinya.
Jam tangan Nino menunjukkan pukul setengah
enam pagi. Mentari semakin terik. Tubuh Yoga menjadi gemetar. Sesaat kemudian
Silvia muncul dari semak-semak pohon. Berlari kearahnya. Senyumnya langsung
mengembang diwajahnya. Kemudian dia menuruni tangga dan mereka bertemu di taman.
Mereka kemudian tertawa sendiri.
“Kamu Hendra Prayoga kan?”. Tanya Silvia.
Yoga mengangguk kemudian menghampiri Silvia dan memeluknya. Silvia senang
banget bisa bertemu Hendra lagi. Hampir 8 tahun mereka tak bertemu. Rasa kangen
menjadi satu.
“Kamu kok bisa tahu ku Hendra.”
“Tahu ja. Temen kamu yang bilang ma aku. Mereka sms ku.”
“Mereka?, jadi kalau mereka nggak sms kamu
ngak kesini?”
“Nggak gitu juga,”
Yoga lalu
menunjukkan kalung yang dulu pernah aku berikan kepadanya saat masih SD. Tak ku
sangka dia masih menyimpannya. Padahal punya ku saja sudah ku buang. Karena aku tahu Hendra ngak bakal suka
sama aku. Ternyata dia ada rasa juga. Ini sebuah kejutan.dia menanyakan punya
ku. Aku mengatakan udah aku buang. Dia lalu marah. Merasa dibohongi.
“Seharusnya aku sadar itu hanya cinta monyet.
Kamu sudah melupakannya”
“Bukannya kamu membuang liontin itu. Kukira
kamu ngak suka ya dah aku buang juga.”
“Iya maaf, aku dulu malu. Tapi kalau sekarang
enggak lagi. Mau kah kamu menerima ku
jadi pacar kamu?” Aku menjadi grogi. Jantung ku berdetak tak beraturan lagi.
“cepat jawab, buruan panas nih,” pintanya sewot karena kepanasan. Akhirnya aku
menerimanya.
Aku tidak menyangka studi tour sekolah kami
menjadi studi tour cinta ku ke yoga lagi. Ini memang tak terencana semua berjalan
dengan sendirinya. Ku juga ngak tahu gimana hubungan Angga dan Lisa. Ku rasa
mereka sudah bisa mengambil keputusan sendiri. Aku bahagia cinta monyet ku
bersemi kembali seiring berseminya bunga sakura di Jepang. Jatuh bertebangan dibawa angin kemana dia suka.
Melambai dengan anggunnya. Tidak ada satu pun yang tahu rencana Tuhan. Syukuri
yang ada. Pasti ada jalan kebahagian menuju singgasana cintaNya.
Komentar
Posting Komentar