Aku si Cebol
Hidup tak berarah, dalam mimpi yang
dalam nan jauh di atas mega. Sehingga semua orang meragukannya. Kesabaran ku
tak hanya sampai disitu. Cinta ku terlalu sempurna memberi rasa dan asa dalam
malam yang tak pernah padam. Dalam derita cinta manusia. Meleburkan harapan
sampai pada titik kesakitan ku.
Penghinaan, pencacian merupakan
makanan sehari-hariku. Aku sudah mulai mengerti dan sadar untuk selalu
bergulat dengan tekad ku. Dalam kesendirian tanpa teman, sahabat, pacar, bahkan
keluarga. Ayah ibu ku saja aku tak tak tahu siapa dan dimana. aku harus
bagaimana aku juga tak tahu. Yang aku tahu bagaimana aku bisa melanjutkan hidup
ku dan terus berlari dengan mimpi-mimpi ku.
Tak khayal banyak orang yang
menertawai setiap aku mendiskripsikan mimpiku. Mereka menyengir mengolok-olok
ku. “Kau tak akan bisa menjadi orang sukses, apalagi menjadi Insinyur. Lihat
dirimu, jangan lah kau ikuti si cebol yang ingin menggapai bulan.” Kata dari satu
mereka. “hahhahha,” tawa mereka puas.
Aku hanya diam. Ya, aku mengakui
memang aku tak seberuntung anak presiden obama atau anak David beckam ynag
hidup dalam gelimang harta dan kasih sayang. Untuk sekolah saja pasti mereka
sudah mempunyai fasilitas lebih dari cukup. Hal itu membuatku iri. Sangat iri.
Tapi aku mencoba sabar aku yakin Allah pasti memberi ku jalan. Aku selalu
berusaha untuk sabar dan kuat menghadapi kelamnya dunia ini. Aku cowok, aku
lebih bisa menjaga diri dari pada cewek.
Ocehan mereka terkadang memberi beban
untuk ku. Aku ragu-ragu untuk melangkah. Beruntung aku mempunyai seorang guru
privat yang selalu memberi aku dorongan
untuk selalu maju. Aku tak pantang menyerah. Ku anggap cacian mereka sebagai
penyemangat ku. Karena aku pernah membaca salah satu motivator hebat indonesia
mengatakan semakin banyak caciaan dam makian itu menunjukkan mereka iri
terhadap kemampuan kita sendiri. jadi sampai saat ini aku selalu tak berfikir
anggapan mereka bagaimana yang penting aku
tak mengusik hidup mereka toh aku punya jalan sendiri yang harus
kulalui.
Beruntung aku bertemu dengan Mbak
Licia, yang selalu mendorong ku. Membantu ku dalam meraih mimpi ku.
Menyekolahkan ku dan selalu menjadi tempat curahan hati ku. Di dunia ini yang
aku punyai hany mbak licia. Orang yang mengerti aku dan perasaan ku. Ya aku
sangat beruntung.
Orang-orang diluar sana sedang
membicarakanku. Tentang kejelekanku. Aku dikira bencong karena sering main
dengan mbak Licia dan teman-temanya. Tapi aku tak ambil pusing. Itu hak mereka.
Terkadang aku sedih, saat tatapan mereka enggan melihat ku. Tak apa, itu suatu
proses yang harus aku tempuh. Aku lebarkan senyumku setiap bertemu mereka walau
hatiku terkadang terkikis perih. Tak ku acukan mereka.
Hidup ini keras sekeras batu yang
padat. Aku selalu dan selalu untuk menghancurkan batu kehidupanku yang kelam.
Hidupku sangat mengerikan teman saja aku tak punya. Aku sudah mulai tak percaya
adanya teman semenjak aku dikianati sebuah pertemanan. Mereka hanya
memanfaatkan aku untuk kepentingan mereka. aku selalu diacungkan. Mereka
menganganggap ku sampah yang hanya bisa
digunakan bila ada manfaatnya saja. Mereka selalu menjujung tinggi aku.
dengan mengatakan : “Aku teman kamu, sahabat baik kamu. Kita kan selalu bersama
saat senang atau sedih,” kemudian mereka memeluk ku.
Setiap ingat kejadian itu aku selalu
sedih. Sangat sedih ternyata itu hanya tipuan mereka. Aku terpuruk mereka tak
tahu. Bahkan mereka sering membuat ku terpuruk dalam kesendirian. Yang jelas aku
sudah tak percaya dengan kata sahabat dan teman. Aku tak percaya. Benar tak
percaya air mata ku seakan ingin menetes. Sudah menumpuk dalam pelupuk mata.
Tapi aku sembunyikan rasa kecewa ku. Terlalu tersenyum.
Aku melenggang jauh kedepan,
penantian ku untuk bisa mendaptkan beasiswa keluar negeri pun tercapai. Mbak
licia memberitahu aku dengan menunjukkan surat panggilan. Aku sangat senang walau
sekolah ku hanya sekolah gubuk tapi kau bisa pergi keluar negeri, mbak licia
memeluk ku sangat senang.
Kesempatan ini tak akan ku
sia-siakan. Aku bersyukur. Doa ku dijawab-Nya. Seiring berjalanya waktu aku melupakan semua sakit
hati dan kecewa ku. Aku sangat bahagia rintisan ku untuk menjadi insinyur pun
dimulai. Aku selalu berharap kelak bisa seperti mbak Licia yang selalu menemani ku.
Komentar
Posting Komentar