PELANGI PUN MENJEMPUT KU
Kesedihan seakan tak
ingin beranjak dari hidup ku. Menghinggapi ku lagi satu persatu dengan perlahan
tapi pasti. Mereka yang ku sayangi tega meninggalkan ku sendiri, pergi begitu
saja tanpa pesan terakhir. Betapa sedihnya aku tinggal di kota asing yang aku
pun tak kenal satu pun disini. Hanya aku
yang masih bertahan entah sampai kapan. Kesedihan ku semakin bertambah saat aku
harus menjalani semua hidupku sendiri di tanah makmur namun gersang ini. Kemana
aku harus mencari perlidungan bila tak
ada satu orang pun yang melirik ku. Apalagi memberi makan aku. mereka sudah
sibuk dengan dunia mereka sendiri yang serakah.
Hari demi hari telah ku
lalui dengan bijaksana. Aku mencoba bangkit melanjutkan hidup ku tanpa mereka yang ku sayang. Aku sadar mereka meninggalkan ku bukan karena mereka
ingin meninggalkan ku tapi karena mereka sudah tak sanggup bertahan hidup
disini. Ya, bertahan di tanah surga ini. Umur kita sudah tak muda lagi, sudah
10 tahunan. Layaknya manusia aku sudah berumur 35 tahun, tinggal menikmati hidup
makmur dengan jerih payah setelah sekian lama aku berkorban. Orang semakin acuh
terhadap ku. Tak membiarkan ku untuk bernafas lega walau hanya 1 menit. Sungguh sangat menyebalkan
manusia itu selalu membuat dada sesak. Menjadikan umur bangsa kami semakin bertambah
pendek.
Aku
rindu tanah ku yang subur dan makmur.
Alam raya yang sangat indah, mengagumkan dan mempesona. Hingga tak salah bila
para kerah putih memperebutkan wilayah dimana ku tinggal. Mereka berlomba mencari simpati dengan mempertahan
ku dan serumpun ku, namun mereka sangat licik, mengambil keuntungan dari kami. Mereka
hanya membodohi kaum yang lemah.
Terkadang
aku merasa iri dengan manusia yang mempunyai banyak kelebihan di dunia ini.
Mereka bisa menikmati dunia ini dengan leluasa. Semua yang mereka butuhkan
sudah disediakan dari kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Betapa beruntungnya
manusia, tak perlu bersusah-susah membuat makanan sendiri seperti diriku.
Sebagian besar makanan mereka sudah kami siapkan dari kebutuhan karbohidrat,
protein, vitamin, sampai lemak dan kamilah yang menyuplai oksigen mereka. sungguh mereka ciptaan tuhan yang mulia,
tetapi sayang mereka tak menyukuri karunia Tuhan.
Memang aku mempunyai
tugas mulia disini yaitu membuat
udara menjadi lebih sehat, melindungi manusia saat kepanasan dan sebagai
sumber penyimpanan air. Sungguh aku
sangat mencintai manusia. Tapi manusia memperlakukan ku seperti tak ada
harganya. Andai mereka menyadari aku dan
kaum ku lah yang selalu membantu kehidupan mereka. Memang aku memerlukan CO2
tapi bila terlalu banyak aku juga tak kan bertahan. Badan ku akan menjadi
gendut dan aku akan terkena obesitas.
Aku sudah tak bisa untuk berbuat apa-apa. Badan ku sudah terlanjur
terkena patologi obesitas, tinggal
menunggu waktu yang tepat untuk ku menyusul teman-teman ku. Walau rasa takut
sering ada dalam diri ku.
Aku teringat saat
mereka membawa ku kesini, dengan tega memisahkan aku dari kedua orang tua ku.
Diri ku yang masih kecil tak bisa berbuat apa pun. Aku hanya menangis dan
menangis. Kulihat wajah orang tua mereka
terlihat tak rela aku pergi. Air mata mengalir deras di setiap lekukan wajah tuanya.
Aku yang saat itu baru umur bulanan tak tahu harus bagaimana dan hanya pasrah.
Orang tua ku hanya
berpesan pada ku “Anakku, kau penyelamat bumi nak, bersabarlah ayah ibu akan
selalu mendoakan kamu. Semoga kau berhasil nak.”
Kalimat itu selalu ku
ingat sebagai penyemangat hidup baru ku. Ya, aku harus menyelamatkan bumi
dengan tubuh ku ini.
Perpisahan
itu pun harus terjadi. Aku di tempatkan di tengah kota ini bersama teman-teman
ku yang lain. Mereka juga sama seperti ku. Mereka juga sedih. Tapi setelah lama
mereka tinggal mereka sudah mengerti
tugas kami sebenarnya. Aku pun ikhlas berpisah dengan orang tua ku. Walau aku
tak pernah ingin meninggalkan tempat ini.
Demi terciptanya
kedamaian bumi sahabat ku, aku rela. Bumilah yang selalu memberi dorongan untuk hidup baru ku. Kita sering berbicang dari masalah bangsa ku sampai
masalah bumi sendiri yang tak kuat bila ditinggal bangsa kami.
Bumi bila bertemu
selalu mengucapkan terimakasih pada ku karena aku dan bangsa ku dianggap
melindunginya dari sinar matahari yang berlebih. Namun akhir-akhir ini aku
jarang menjumpai Bumi. Jika bertemu Bumi selalu terlihat murung. Aku tak berani
menanyakan kenapa. Aku juga tak tahu
kenapa bumi sedih, apa karena teman-teman ku yang sudah pergi? Aku ingin sekali bertemu dengan bumi.
Aku ingin mengatakan tinggal aku saja disini. Ditengah kota metropolitan ini.
Aku kesepian tak ada teman lagi yang aku ajak berbincang. Aku sudah tak
selincah dulu, raga ku sudah mulai lemah. Aku harus mengadu ke siapa juga tak
tahu. Ku hanya berdoa kepada sang pencipta agar aku diberikan yang terbaik dalam hidup ku.
Suara deru kendaraan
bermotor semakin mengggilas. Matahari si raja panas semakin menjadi-jadi dengan
ulahnya. Selubung ozon diatas kepala sudah ada yang bocor mengakibatkan sinar
ultraviolet menghajar ku mati-matian. Tubuh ku menjadi sangat lemah tak
bertahan aku selalu menyebut nama sang pencipta agar selalu melindungi ku.”Tuhan
izinkan aku tetap terus tinggal menjaga
amanat mu,”
Awan hitam beradu
dengan mentari. Menutupi laju jutaan sinar yang menembus bumi. Aku merasa agak
lega. Tenaga ku yang sudah hampir habis pelan-pelan pulih, Tidak lupa ku
ucapkan terimakasih kepada awan karena sudah membantu ku. “Terimakasih awan,
kau sejukan hari ku lagi,”
Awan tidak seperti
biasanya, dia sangat cuek. Dia hanya melihat ku
selintas. Mata kita sempat berpapasan. Terlihat mata itu menyimpan
suatu rahasia yang aku tak mengerti.
Angin memebelai setiap sela-sela ruang tubuh ku. Daun kering berjatuhan
terlepas bebas.
Sekian menit berlalu.
Tiba-tiba angin yang tadinya berhembus tenang sekarang malah menjadi-jadi. Awan
dengan teman-temannya bergerombolan membentuk kerucut terbalik berputar-putar.
Hitam pekat. Aku sangat ketakutan. “Tuhan, ini apalagi? Apakah kau menguji ku
lagi,” teriak ku.
Tiupan angin raksasa
kian mendekat menerjang ku, aku yang masih lemas mencoba bertahan tapi apa daya
aku tak sekuat baja. Kerucut itu semakin mendekat dan menghantam ku aku pun
terseok jatuh ke peraduan. Seluruh tubuh ku tumbang sampai ke akar-akar ku.
Hingga aku tergeletak diatas salah satu
mobil mewah yang tak sengaja aku meremukkannya.
Hujan kian deras. Aku hanya pasrah
dengan keadaan ini.
Kerucut itu sudah melewati
ku, hujan kian reda kala hari sudah menginjak sore. Para petugas segera
memutilasi tubuh ku. Sedikit pun aku tak sedih, benar sangat tak sedih. Dalam lubuk hati ku aku khawatir dengan bumi.
Akhirnya aku harus
tumbang juga seperti teman-teman ku yang lain. Kulihat pelangi diatas sana sangat
indah nan cemerlang, berwarna-warni. Mereka siap untuk menjemput ku. Aku
mengikuti mereka melintasi awan, ku lihat
tempat ku selama ini dan ayah ibu ku sudah menunggu di singgasana. Aku pergi
dengan senyuman. Ku lihat bumi tertegun sedih melihat kepergian ku. Aku pun
sedih tak bisa lagi bercanda dengannya. Satu kata yang ingin aku ucap un untuk
Bumi. “Aku cinta engkau Bumi selamanya. Maaf aku tak bisa membantu mu lagi.”
Aku adalah satu dari
sekian banyak kaum ku yang menjadi taruhan manusia serakah, kami selalu menjaga
kelestarian alam untuk kepentingan manusia dan yang ada di bumi ini. Tapi
mereka sesuka hati sering membunuh kami untuk kepentingan segelintir orang.
Meracuni kami dengan gas-gas beracun dari kendaraan bermotor atau alat-alat
pabrik. Sungguh mengenaskan hidup kami. Selamatkan kaum kami. Biarkan bumi ini
tetap hijau dan izinkan sebagian kerabat
kami yang masih ada untuk melakukan tugasnya. Buatlah Bumi ini selalu
tersenyum.
Komentar
Posting Komentar